Kamis, 10 April 2014

Pengertian Manajemen Multibudaya dan Ruang Lingkup Multibudaya


III. PEMBAHASAN
3.1    Pengertian  Manajemen Multibudaya dan Ruang Lingkup Multibudaya
Makna manajemen multi budaya ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda, memberdayakanya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Pemahaman manajemen multibudaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat multibudaya dalam struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya organisasi yang berbeda. Esensi dari manajemen multibudaya terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material, maupun perilaku yang didasarkan pada informasiyang sebaik mungkin tentang keseragaman budaya tersebut. Pentingnya peranan komunikasi dalam manjemen multibudaya, maka di perlu direkayasa model-model komunikasi yang sesuai kasus-kasus yang dihadapai. Prinsip-prinsip manajemen multibudaya penting diterapkan sebagai sala satu upaya peningkatan kwalitas interaksi antar budaya melalui komunikasi yang baik, sehingga terwujud saling pengertian, membangun kepekaan budaya yang terpenting tidak lagi menganggap SARA sebagai momok, tapi justru sumber kekuatan dan peluang dalam mewujudkan konsep persatuan dan keragaman.
Istilah multibudaya tersebut selalu melekat dengan pendidikan, yang mempunyai arti secara luas meliputi  any set of processes by which schools work with rather than against oppressed groups. Pendapat tersebut  sejalan dengan pernyataan Will  Kymlicka, profesor filsafat pada  Queen University Canada dalam bukunya  Multicultural Citizenship, bahwa multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan  keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat

kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya. Sedikit berbeda dengan Staven hagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep “multibudaya” mengandung dua pengertian, yaitu:
1.         Multibudaya merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang heterogen. Pernyataan dari segi ini sebanyak 95 % negara-negara di dunia pada dasarnya adalah bersifat multibudaya mengingat secara etnis dan budaya bersifat plural.
2.         Multibudaya telah diangkat sebagai suatu keyakinan, ideologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai pluralisme etnik dan budayanya sebagai sesuatu yang berharga, potensial, yang harus dipelihara dan ditumbuh kembangkan.
Yudistira K. Garna (2003; 164), Antropolog Universitas Pajajaran berpendapat bahwa dalam masyarakat majemuk (plural society), terdapat dua tradisi dalam sejarah pemikiran sosial.  Pertama; bahwa kemajemukan itu merupakan suatu  keadaan yang memperlihatkan wujud pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung atau bersatu, dan rasa menyatu itu dibangun melalui dasar kesetiaan (cross-cutting) kepemilikan nilai-nilai bersama dan perimbangan kekuasaan.  Kedua; dalam masyarakat majemuk dikaitkan dengan relasi antar ras/etnik, bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok ras/etnik yang berada dalam satu sistem pemerintahan, oleh karena itu sering mengalami konflik dan paksaan .
Implikasi dari adanya masyarakat majemuk tersebut menurut Smith (1965) juga memiliki berbagai kelompok budaya yang beragam. Masyarakat yang memiliki budaya beragam ini maka terminologi multibudaya sering didiskusikan baik sebagai respons menghadapi tantangan realitas sosial itu, maupun sebagai pengakuan atas diversitas budaya majemuk tersebut. Pendidikan multibudaya dalam perkembangannya sebagai suatu  sikap, praktik sosial, dan kebijakan pemerintah, yang sekarang ini telah meluas ke arah suatu keyakinan atau kebijakan politik pemerintah semacam “penanaman dan pemeliharaan ideology” dalam pengembangan kebudayaan menciptakan masyarakat yang sehat. Berry, Poortinga, dan  Segall (1998) dalam karyanya Cross-cultural psychology: Research and applications,  menyebutnya multikulturalisme pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat mengembang-kan identitas yang sehat dan secara timbal-balik mengembangkan sikap- sikap positip antar kelompok.
Kymlicka (2003) maupun Harjanto (2001) yang menghubungkan multibudaya dengan integrasi bangsa dalam tulisannya berjudul antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan, menyatakan bahwa bukannya pen-dekatan ethnocultural nationalism/ethnic nationalism maupun civic-nationalism, melainkan sebaiknya multicultural nationalism. Mereka ber-pendapat, melalui pengembangan multicultural nationalism tersebut dapat dipelihara dan dikembangkan integrasi bangsa yang lebih handal. Sebab, menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, menghargai keragam etnis serta berkomitmen terhadap kesamaan antar kelompok akan memungkinkan terwujudnya suatu  social and political ideal of togetherness in difference. Prestasi persatuan bangsa yang menghargai perbedaan ini, pernah dicontohkan oleh Perdana Menteri Trudeau keturunan Prancis Kanada yang sering dijadikan model multikultuarlisme yang konsisten dengan kebijakan “mosaic-nya”
(Anonim 1, 2012).

3.2    Konsep Manajemen Multibudaya
Makna manajemen multibudaya (pluralisme budaya) ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda, memberdayakannya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Budaya dapat diartikan sebagai cipta, rasa, karsa/karya


seseorang/kelompok, bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi bisnis maupun non profit.
Pemahaman manajemen multi budaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat multi budaya dalam struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya organisasi yang berbeda (misalnya dalam kasus merger, kerja sama), kegiatan-kegiatan yang bersifat global, kegiatan-kegiatan dalam kawasan-kawasan baru yang terpadu, pluraslisme masyarakat dalam suatu negara, sehingga diperlukan suatu seni dan ilmu manajemen ke dalam konteks budaya. Keragaman budaya itu dapat saling mengenal, saling menghargai, sehingga tercapai kondisi simbiose metualistis alam keragaraman tersebut. Esensi dari manajemen multibudaya terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material, maupun perilaku didasarkan pada imformasi yang sebaik mungkin tentang keragaman budaya tersebut (Arenofsky, J., 2002).
Sejak berkomunikasi antar personal apakah kegiatan bisnis atau keperluan lainnya (seperti misalnya berjabat tangan, pembicaraan telepon, negosiasi, seminar, pelatihan, berunding, rapat dan lainnya), sebenarnya telah terjadi tentang budaya, yang hanya sukses kalau pihak-pihak yang berkomunikasi sadar, mengerti serta hormat terhadap nilai dan perbedaan orang lain, kelompok lain, suku atau bangsa lain. Lebih lanjut, menghargai keragaman budaya, berarti menghargai nilai-nilai budaya (sendiri atau pihak lain), lebih-lebih prioritas nilai budaya yang diutamakan, serta menjalin komunikasi lintas budaya.
Pentingnya peranan komunikasi dalam manajemen multi budaya, maka perlu direkayasa model-model komunikasi yang sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi. Di bawah ini adalah contoh model komunikasi multi budaya, seperti diragakan oleh gambar berikut:


Gambar 1
Model Kepercayaan, Nilai dan Komunikasi Multi Budaya
§  Persaingan
§  Kemandirian
§  Langsung
§  Ambil resiko
§  Keselaraan kelompok
§  Kerjasama
§  Umur - Senioritas
§  Inormasi
§  Pengabdian
§ Hubungan
§ Keselarasan keluarga
§ Formalitas/status
§  Oraganisasi sosial
§  Komunikasi non verbal
§  Tanggapan emosional
§  Estetika
§  Makanan
§  Orientasi kegiatan
§  Hidup/mati
§  Alam
§  Sejarah
§  Agama
KEPERCAYAAN
NILAI
KOMUNIKASI
Imbalan (ganjaran)
Sumber : Elashmawi & Haris (1999)
Dari gambaran di atas tersirat pengertian bahwa perilaku seseorang (dalam bisnis, kehidupan sosial, pemerintahan dan lainnya) dipengaruhi sistem kepercayaan, juga oleh nilai-nilai yang dianutnya dan diberi ganjaran (imbalan). Jika seorang pemimpin (misalnya orang Jepang) bekerja
di Amerika, memaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah orang-orang Amerika, tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian, keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di Amerika. Demikian halnya jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.

Untuk itu, model di atas perlu dilanjutkan dengan membangun kepekaan budaya, disebut model kesenangan/kepuasan (happy/satisfied), seperti diragakan pada gambar berikut:

Gambar 2
Model Kesenangan/Kepuasan
FASE I
Mendengarkan Mengamati Merasakan
NILAI
KOMUNIKASI
Imbalan (ganjaran)
FASE II
Menanggapi Ambil bagian Tumbuh
FASE III
Menyesuaikan Berbagi Mengalami
FASE IV
Menikmati
Sumber : Elashmawi & Haris (1999)
Dalam model ini harus disadari perbedaan nilai-nilai budaya yang ada dan saling berinteraksi. Berkomunikasi dengan orang Jepang misalnya,   Fase I sangat dihargai, biasanya memakan waktu yang lama, karena orang Jepang akan mendengarkan, melihat, merasakan pikiran-pikiran mitra asing mereka, lebih dari sekedar hanya menjawab langsung, mereka sangat antusias. Barulah mereka ambil bagian pada Fase II, sedangkan Fase III sudah tinggal meluruskan apa yang disepakati pada Fase II, sehingga Fase IV tinggal dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang Amerika, cenderung kurang suka berlama-lama pada Fase I, tapi langsung ke Fase II dan seterusnya. Kalau ke dua nilai

budaya itu tidak saling menghargai, biasanya yang terjadi adalah kegagalan, karena kekurangmampuan membangunan kepekaan
budaya.
(Rolph, J., 2003)

3.5    Penerapan Konsep Manajemen MultiBudaya
Dengan memahami konsep tentang manajemen multibudaya sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang penerapan konsep manajemen multibudaya dalam
konteks perkuliahan.
Berbicara tentang manajemen multibudaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi, yang memuat nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi. Dalam konteks perkuliahan, nilai-nilai yang dimiliki dan dikembangkan di kampus, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kampus itu sendiri sebagai organisasi kampus, yang  memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para anggotanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms.”.
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di kampus tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger (Sumadi Suryabrata, 1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di kampus, yaitu ilmu pengetahuan, ekonomi, kesenian, keragamaan, kemasyarakatan, dan politik atau kenegaraan.
Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di kampus ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggotanya yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggotanya.

Norms; budaya organisasi di kampus ditandai pula oleh adanya norma-norma  yang berisi tentang standar perilaku dari anggota-anggotanya, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern kampus itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku mahasiswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil pencapaian organisasi itu, yang akan menentukan apakah seorang mahasiswa dapat dinyatakan berhasil atau tidak. Standar perilaku mahasiswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku dosen, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki dosen, yang akan menopang terhadap kinerjanya.
Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia  dewasa ini  yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di kampus seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di kampus. Nilai dan keyakinan akan pencapaian organisasi hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga institusi. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis organisasi, mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output  pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada  aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input universitas dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi kampus, khususnya prestasi mahasiswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi.  Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka perguruan tinggi pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan.
Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap kampus memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan kampus setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga kampus dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di kampus ini dikemas dalam bentuk tata-tertib kampus, di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga kampus, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay  Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.” Di kampus terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, kampus harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggotanya, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa: “Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya“.
























IV. PENUTUP
4.1    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, beberapa kesimpulan, dapat sampaikan sebagai berikut:
1.         Prinsip-prinsip manajemen multibudaya penting diterapkan sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas interaksi antar budaya melalui komunikasi yang baik, sehingga terwujud saling pengertian, membangun kepekaan budaya.
2.         Berbicara tentang manajemen multibudaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi, yang memuat nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi.
3.         Pentingnya membangun budaya organisasi di kampus, dalam konteks manjemen multibudaya, terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan kampus dan peningkatan kinerja perguruan tinggi.

4.2    Saran
Indonesia merupakan negara multibudaya karena Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan budaya. Hal ini menyebabkan organisasi di Indonesia memiliki anggota dari berbagai suku bangsa. Adanya keberagaman tenaga kerja sering kali dipandang hanya akan menimbulkan masalah bagi perusahaan. Namun, pengelolaan keberagaman yang baik justru dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Agar dapat memperoleh keunggulan kompetitif tersebut, maka organisasi harus mengarah pada terbentuknya organisasi multibudaya yaitu organisasi yang menghargai, mempromosikan, dan secara proaktif mengelola perbedaan-perbedaan budaya yang ada diantara sumber daya manusia yang dimilikinya.

Tidak ada komentar: