III.
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Manajemen Multibudaya dan Ruang Lingkup
Multibudaya
Makna manajemen multi
budaya ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda, memberdayakanya sehingga
dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal.
Pemahaman manajemen multibudaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat
multibudaya dalam struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya
perpaduan budaya organisasi yang berbeda. Esensi dari manajemen multibudaya
terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material, maupun
perilaku yang didasarkan pada informasiyang sebaik mungkin tentang keseragaman
budaya tersebut. Pentingnya peranan komunikasi dalam manjemen multibudaya, maka
di perlu direkayasa model-model komunikasi yang sesuai kasus-kasus yang
dihadapai. Prinsip-prinsip manajemen multibudaya penting diterapkan sebagai
sala satu upaya peningkatan kwalitas interaksi antar budaya melalui komunikasi
yang baik, sehingga terwujud saling pengertian, membangun kepekaan budaya yang
terpenting tidak lagi menganggap SARA sebagai momok, tapi justru sumber
kekuatan dan peluang dalam mewujudkan konsep persatuan dan keragaman.
Istilah multibudaya
tersebut selalu melekat dengan pendidikan, yang mempunyai arti secara luas
meliputi any set of processes by which schools work with rather than against
oppressed groups. Pendapat tersebut
sejalan dengan pernyataan Will
Kymlicka, profesor filsafat pada
Queen University Canada dalam bukunya
Multicultural Citizenship,
bahwa multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang
menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun
komunitasnya yang bersifat
kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya. Sedikit berbeda dengan Staven hagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep “multibudaya” mengandung dua pengertian, yaitu:
kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya. Sedikit berbeda dengan Staven hagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep “multibudaya” mengandung dua pengertian, yaitu:
1.
Multibudaya merupakan
realitas sosial dalam masyarakat yang heterogen. Pernyataan dari segi ini
sebanyak 95 % negara-negara di dunia pada dasarnya adalah bersifat multibudaya
mengingat secara etnis dan budaya bersifat plural.
2.
Multibudaya telah diangkat
sebagai suatu keyakinan, ideologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai
pluralisme etnik dan budayanya sebagai sesuatu yang berharga, potensial, yang
harus dipelihara dan ditumbuh kembangkan.
Yudistira K. Garna
(2003; 164), Antropolog Universitas Pajajaran berpendapat bahwa dalam
masyarakat majemuk (plural society),
terdapat dua tradisi dalam sejarah pemikiran sosial. Pertama; bahwa kemajemukan itu merupakan
suatu keadaan yang memperlihatkan wujud
pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung atau
bersatu, dan rasa menyatu itu dibangun melalui dasar kesetiaan (cross-cutting) kepemilikan nilai-nilai
bersama dan perimbangan kekuasaan.
Kedua; dalam masyarakat majemuk dikaitkan dengan relasi antar ras/etnik,
bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok
ras/etnik yang berada dalam satu sistem pemerintahan, oleh karena itu sering
mengalami konflik dan paksaan .
Implikasi dari adanya
masyarakat majemuk tersebut menurut Smith (1965) juga memiliki berbagai
kelompok budaya yang beragam. Masyarakat yang memiliki budaya beragam ini maka
terminologi multibudaya sering didiskusikan baik sebagai respons menghadapi
tantangan realitas sosial itu, maupun sebagai pengakuan atas diversitas budaya
majemuk tersebut. Pendidikan multibudaya dalam perkembangannya sebagai suatu sikap, praktik sosial, dan kebijakan
pemerintah, yang sekarang ini telah meluas ke arah suatu keyakinan atau kebijakan
politik pemerintah semacam “penanaman dan pemeliharaan ideology” dalam
pengembangan kebudayaan menciptakan masyarakat yang sehat. Berry, Poortinga,
dan Segall (1998) dalam karyanya Cross-cultural psychology: Research and
applications, menyebutnya
multikulturalisme pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitik
yang memungkinkan individu dapat mengembang-kan identitas yang sehat dan secara
timbal-balik mengembangkan sikap- sikap positip antar kelompok.
Kymlicka (2003)
maupun Harjanto (2001) yang menghubungkan multibudaya dengan integrasi bangsa
dalam tulisannya berjudul antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan, menyatakan
bahwa bukannya pen-dekatan ethnocultural nationalism/ethnic
nationalism maupun civic-nationalism,
melainkan sebaiknya multicultural
nationalism. Mereka ber-pendapat, melalui pengembangan multicultural nationalism tersebut dapat dipelihara dan
dikembangkan integrasi bangsa yang lebih handal. Sebab, menciptakan masyarakat
yang berkeadilan sosial yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, menghargai
keragam etnis serta berkomitmen terhadap kesamaan antar kelompok akan
memungkinkan terwujudnya suatu social and political ideal of togetherness
in difference. Prestasi persatuan bangsa yang menghargai perbedaan ini,
pernah dicontohkan oleh Perdana Menteri Trudeau keturunan Prancis Kanada yang
sering dijadikan model multikultuarlisme yang konsisten dengan kebijakan
“mosaic-nya”
(Anonim 1, 2012).
(Anonim 1, 2012).
3.2 Konsep Manajemen
Multibudaya
Makna manajemen multibudaya
(pluralisme budaya) ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda,
memberdayakannya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara
internal maupun eksternal. Budaya dapat diartikan sebagai cipta, rasa,
karsa/karya
seseorang/kelompok, bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi bisnis maupun non profit.
seseorang/kelompok, bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi bisnis maupun non profit.
Pemahaman manajemen
multi budaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat multi budaya dalam
struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya
organisasi yang berbeda (misalnya dalam kasus merger, kerja sama),
kegiatan-kegiatan yang bersifat global, kegiatan-kegiatan dalam kawasan-kawasan
baru yang terpadu, pluraslisme masyarakat dalam suatu negara, sehingga
diperlukan suatu seni dan ilmu manajemen ke dalam konteks budaya. Keragaman
budaya itu dapat saling mengenal, saling menghargai, sehingga tercapai kondisi simbiose metualistis alam keragaraman
tersebut. Esensi dari manajemen
multibudaya terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material,
maupun perilaku didasarkan pada imformasi yang sebaik mungkin tentang keragaman
budaya tersebut (Arenofsky, J., 2002).
Sejak berkomunikasi
antar personal apakah kegiatan bisnis atau keperluan lainnya (seperti misalnya
berjabat tangan, pembicaraan telepon, negosiasi, seminar, pelatihan, berunding,
rapat dan lainnya), sebenarnya telah terjadi tentang budaya, yang hanya sukses
kalau pihak-pihak yang berkomunikasi sadar, mengerti serta hormat terhadap
nilai dan perbedaan orang lain, kelompok lain, suku atau bangsa lain. Lebih
lanjut, menghargai keragaman budaya, berarti menghargai nilai-nilai budaya
(sendiri atau pihak lain), lebih-lebih prioritas nilai budaya yang diutamakan,
serta menjalin komunikasi lintas budaya.
Pentingnya peranan
komunikasi dalam manajemen multi budaya, maka perlu direkayasa model-model
komunikasi yang sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi. Di bawah ini adalah
contoh model komunikasi multi budaya, seperti diragakan oleh gambar berikut:
Gambar
1
Model Kepercayaan, Nilai dan
Komunikasi Multi Budaya
§ Persaingan
§ Kemandirian
§ Langsung
§ Ambil
resiko
§ Keselaraan
kelompok
§ Kerjasama
§ Umur
- Senioritas
§ Inormasi
§ Pengabdian
§ Hubungan
§ Keselarasan keluarga
§ Formalitas/status
|
§ Oraganisasi
sosial
§ Komunikasi
non verbal
§ Tanggapan
emosional
§ Estetika
§ Makanan
§ Orientasi
kegiatan
|
§ Hidup/mati
§ Alam
§ Sejarah
§ Agama
|
KEPERCAYAAN
|
NILAI
|
KOMUNIKASI
|
Imbalan
(ganjaran)
|
Sumber
: Elashmawi & Haris (1999)
Dari gambaran di atas
tersirat pengertian bahwa perilaku seseorang (dalam bisnis, kehidupan sosial,
pemerintahan dan lainnya) dipengaruhi sistem kepercayaan, juga oleh nilai-nilai
yang dianutnya dan diberi ganjaran (imbalan). Jika seorang pemimpin (misalnya
orang Jepang) bekerja
di Amerika, memaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah orang-orang Amerika, tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian, keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di Amerika. Demikian halnya jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.
di Amerika, memaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah orang-orang Amerika, tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian, keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di Amerika. Demikian halnya jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.
Untuk itu, model di
atas perlu dilanjutkan dengan membangun kepekaan budaya, disebut model
kesenangan/kepuasan (happy/satisfied), seperti diragakan pada
gambar berikut:
Gambar
2
Model Kesenangan/Kepuasan
FASE I
Mendengarkan Mengamati
Merasakan
|
NILAI
|
KOMUNIKASI
|
Imbalan
(ganjaran)
|
FASE II
Menanggapi Ambil
bagian Tumbuh
|
FASE III
Menyesuaikan Berbagi
Mengalami
|
FASE IV
Menikmati
|
Sumber : Elashmawi
& Haris (1999)
Dalam model ini harus
disadari perbedaan nilai-nilai budaya yang ada dan saling berinteraksi.
Berkomunikasi dengan orang Jepang misalnya,
Fase I sangat dihargai, biasanya memakan waktu yang lama, karena orang
Jepang akan mendengarkan, melihat, merasakan pikiran-pikiran mitra asing mereka,
lebih dari sekedar hanya menjawab langsung, mereka sangat antusias. Barulah
mereka ambil bagian pada Fase II, sedangkan Fase III sudah tinggal meluruskan
apa yang disepakati pada Fase II, sehingga Fase IV tinggal dijalankan dengan
sungguh-sungguh. Sebaliknya orang Amerika, cenderung kurang suka berlama-lama
pada Fase I, tapi langsung ke Fase II dan seterusnya. Kalau ke dua nilai
budaya itu tidak saling menghargai, biasanya yang terjadi adalah kegagalan, karena kekurangmampuan membangunan kepekaan
budaya. (Rolph, J., 2003)
budaya itu tidak saling menghargai, biasanya yang terjadi adalah kegagalan, karena kekurangmampuan membangunan kepekaan
budaya. (Rolph, J., 2003)
3.5 Penerapan
Konsep Manajemen MultiBudaya
Dengan memahami
konsep tentang manajemen multibudaya sebagaimana telah diutarakan di atas,
selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang penerapan konsep manajemen
multibudaya dalam
konteks perkuliahan.
konteks perkuliahan.
Berbicara tentang
manajemen multibudaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi, yang
memuat nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi.
Dalam konteks perkuliahan, nilai-nilai yang dimiliki dan dikembangkan di kampus,
tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kampus itu sendiri sebagai
organisasi kampus, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha
mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para
anggotanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools
are moral institutions, designed to promote social norms.”.
Nilai-nilai yang
mungkin dikembangkan di kampus tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada
pemikiran Spranger (Sumadi Suryabrata, 1990), maka setidaknya terdapat enam
jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di kampus, yaitu ilmu pengetahuan,
ekonomi, kesenian, keragamaan, kemasyarakatan, dan politik atau kenegaraan.
Obeserved
behavioral regularities; budaya organisasi
di kampus ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh
anggotanya yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk
acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol
tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggotanya.
Norms;
budaya organisasi di kampus ditandai pula oleh adanya norma-norma yang
berisi tentang standar perilaku dari anggota-anggotanya, baik bagi siswa maupun
guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern kampus itu
sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar
perilaku mahasiswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil pencapaian
organisasi itu, yang akan menentukan apakah seorang mahasiswa dapat dinyatakan
berhasil atau tidak. Standar perilaku mahasiswa tidak hanya berkenaan dengan
aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku dosen, tentunya erat kaitannya
dengan standar kompetensi yang harus dimiliki dosen, yang akan menopang
terhadap kinerjanya.
Dominant
values; jika dihubungkan dengan tantangan
pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu
pendidikan, maka budaya organisasi di kampus seyogyanya diletakkan dalam
kerangka pencapaian mutu pendidikan di kampus. Nilai dan keyakinan akan pencapaian
organisasi hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga institusi. Dalam
konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis organisasi, mutu pendidikan
meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek
input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan
sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat
kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada
aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan
penyerasian serta pemanduan input universitas dilakukan secara harmonis,
sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar
mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu
pendidikan dapat dilihat dari prestasi kampus, khususnya prestasi mahasiswa,
baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Philosophy;
budaya organisasi ditandai dengan adanya
keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu
secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan
sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia
bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan,
di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para
pelanggan, maka perguruan tinggi pun seyogyanya memiliki keyakinan akan
pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan.
Rules;
budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang
mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap kampus memiliki ketentuan dan
aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan kampus setempat,
maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga kampus dalam berperilaku
dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di kampus ini dikemas dalam bentuk
tata-tertib kampus, di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh warga kampus, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi,
jika melakukan pelanggaran.
Organization
climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya
iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational
climate is the perception of how it feels to work in a particular environment.
It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of
"the way we do things here.” Di kampus terjadi interaksi yang saling
mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut
sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, kampus harus
dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi
setiap anggotanya, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun
sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa: “Lingkungan kerja yang kondusif
baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan
mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat
diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan,
tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan
sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok,
kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju,
kekeluargaan dan sebagainya“.
IV.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di
atas, beberapa kesimpulan, dapat
sampaikan sebagai berikut:
1.
Prinsip-prinsip manajemen
multibudaya penting diterapkan sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas
interaksi antar budaya melalui komunikasi yang baik, sehingga terwujud saling
pengertian, membangun kepekaan budaya.
2.
Berbicara tentang manajemen
multibudaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi, yang memuat
nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi.
3.
Pentingnya membangun budaya
organisasi di kampus, dalam konteks manjemen multibudaya, terutama berkenaan
dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan kampus dan peningkatan kinerja
perguruan tinggi.
4.2 Saran
Indonesia merupakan
negara multibudaya karena Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan budaya. Hal
ini menyebabkan organisasi di Indonesia memiliki anggota dari berbagai suku bangsa.
Adanya keberagaman tenaga kerja sering kali dipandang hanya akan menimbulkan
masalah bagi perusahaan. Namun, pengelolaan keberagaman yang baik justru dapat
memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Agar dapat memperoleh
keunggulan kompetitif tersebut, maka organisasi harus mengarah pada
terbentuknya organisasi multibudaya yaitu organisasi yang menghargai,
mempromosikan, dan secara proaktif mengelola perbedaan-perbedaan budaya yang
ada diantara sumber daya manusia yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar